Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 diperkirakan akan diwarnai oleh praktik money politics, sebuah isu yang sudah menjadi perhatian utama dalam demokrasi di Indonesia. Praktik ini merujuk pada penggunaan uang untuk mempengaruhi pilihan pemilih, yang sering kali mengakibatkan pergeseran dari nilai-nilai demokrasi yang seharusnya. 1. Latar Belakang Money Politics; Money politics biasanya muncul ketika calon kepala daerah atau tim suksesnya merasa perlu untuk menarik dukungan dengan cara memberikan uang atau barang. Hal ini sering terjadi di daerah dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kesadaran politik yang minim.
2. Dampak Negatif; Praktik ini berpotensi merusak integritas pemilu dan menciptakan ketidakadilan. Pemilih yang menerima imbalan mungkin tidak mempertimbangkan kompetensi calon, melainkan memilih berdasarkan keuntungan langsung. Ini juga mengarah pada korupsi yang lebih luas di pemerintahan, karena pejabat terpilih merasa berkewajiban untuk mengembalikan "investasi" yang telah mereka keluarkan. 3. Upaya Penanggulangan; Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama KPU telah berupaya untuk menanggulangi money politics dengan berbagai langkah, termasuk sosialisasi tentang dampak negatifnya dan penegakan hukum terhadap pelanggaran. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum yang seringkali tidak efektif. 4. Solusi Potensial; Meningkatkan pendidikan politik di masyarakat dan memperkuat lembaga pengawas pemilu menjadi kunci. Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh iming-iming uang. Selain itu, penggunaan teknologi dalam pemilu bisa membantu menciptakan transparansi yang lebih besar.
Dengan pemilihan yang semakin dekat, perhatian terhadap praktik money politics akan terus meningkat, dan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menciptakan pemilu yang adil dan berintegritas. (EMJ)